Saturday, 5 May 2012

BARCELONA (Bagian 4)





SOROT: Kebangkitan Real Madrid, Dari Lawan Empuk Menjadi Rival El Clasico Berkat Datangnya Jose Mourinho



Bagian berikutnya dari cuplikan buku ini menceritakan tentang persaingan Barcelona dengan rival abadi mereka, Real Madrid.

Betapa pun menjengkelkannya Madrid mengintip kejayaan Barcelona melalui Pep Guardiola, satu juta kali lebih menyakitkan bagi Madridistas ketika menyaksikan strategi klub malah memecah tim menjadi dua kubu "Zidanes" dan "Pavones". Periode inilah yang kemudian dikenal sebagai "Los Galacticos" 
Graham Hunter, Terbit Januari 2012 oleh Backpage Press 

Madrid memulai era milenium sebagai "Daddy of La Liga". Kekuatan Barcelona relatif setara secara institusi maupun di atas lapangan. Florentino Perez memboyong Luis Figo dari Camp Nou, salah satu "pengkhianatan" terbesar dalam sejarah sepakbola. Dalam segera kebijakan itu menciptakan periode baru, "Zidanes dan Pavones".

Madrid akan membeli siapapun pemain yang dianggap terbaik dan paling menjual. Setelah Figo, Zidane. Kebijakan ini dilengkapi dengan memunculkan pemain-pemain dari akademi sendiri. Para pemain yang dikembangkan Madrid, yang mencintai dan memahami klub, seperti Raul Gonzalez, Guti Hernandez, dan Iker Casillas. Kemudian, para pemain muda seperti Francisco "Paco" Pavon dan dari situ lah muncul sebutan "Zidanes dan Pavones" untuk menjelaskan visi Perez. Begitu berkuasa, mengincar target terbaik di bursa transfer serta dilengkapi pemain binaan sendiri. Apakah ini terdengar identik dengan klub lain di Spanyol yang baru-baru ini merebut tiga gelar Liga Champions dalam rentang lima tahun?

Mengenang lagi transfer Figo 11 tahun lalu, proyek itu kemudian menjadi sebuah kegagalan. Pemain terakhir yang dikembangkan sistem pembinaan Madrid dan menjadi langganan tim adalah Iker Casillas. Debut penuhnya di tim dimulai September 1999. Sejak itu pula, setiap "canterano" 

Madrid berbondong-bondong mencari kesuksesan di tempat lain. Pemain seperti Alvaro Arbeloa dibeli kembali dari Liverpool (sama halnya ketika Barcelona memulangkan Gerard Pique dan Cesc Fabregas), Jose Maria Callejon didatangkan dari Espanyol tiga tahun setelah dilepas.

Sementara, di Barca, dan juga timnas Spanyol, berkembang para canteranos seperti Carles Puyol, Andres Iniesta, Lionel Messi, Fabregas, Pique, Pedro, Bojan, Fernando Navarro, Sergio Busquets, Pepe Reina, Victor Valdes, Mikel Arteta, Thiago, Isaac Cuenca, dan lain-lan. Mereka yang dijual, biasanya, karena ada pemain yang lebih baik, bukan digusur karena ada rekrutan mahal. 

Pada periode yang sama, Madrid pun berkembang, tapi tidak memanfaatkannya. Pemain berbakat seperti Juan Mata, Alvaro Negredo, Borja Valero, Diego Lopez, Dani Parejo, Javi Portillo, Roberto Soldado, Javi Garcia and Jose Manuel Jurado bermunculan. Tapi terjadi pengkhianatan janji Florentino Perez saat kampanye pemilihan presiden, yakni untuk memadukan canterano terbaik dengan pemain terbaik dunia.

Puncak kegagalan Madrid terjadi ketika menjadi tuan rumah final Liga Champions 2010, yang dimenangkan oleh pelatih mereka saat ini, Jose Mourinho, dan Inter Milan. Dibayangi dengan kemungkinan dipermalukan Barcelona menjadi juara di Santiago Bernabeu, otak sukses turnamen itu dipegang oleh para pemain buangan Madrid.

Wesley Sneijder mencetak satu gol dan menyumbangkan satu assist untuk Inter ketika menyingkirkan Barcelona di semi-final laga pertama. Pemain Belanda itu menjadi salah satu kunci Madrid saat menjuarai liga 2008, tetapi dijual, dengan harga lebih rendah saat dibeli, ke Inter. Dia langsung menjadi kekuatan dominan di Eropa. Inter melangkahi Barca dengan empat pemain yang pernah dilepas Florentino Perez, yaitu Samuel Eto'o, Walter Samuel, Sneijder, dan Esteban Cambiasso.

Arjen Robben mempersembahkan gol menentukan ke gawang Fiorentina dan Manchester United serta membobol gawang Olympique Lyon (yang menyingkirkan Madrid) untuk mengantarkan Bayern Munich melewati semi-final lainnya. Robben digusur Madrid sebelum berkesempatan menjadi kombinasi sayap maut dengan Cristiano Ronaldo di bawah kepelatihan Manuel Pellegrini.

Not enough credit is being given to the Special One. The 'Zidanes' of this era are as powerful as the original 'Galacticos'; youth team players are regulary being introduced and, sweetest of all for Madridistas, there is now only a wafer-thin gap between Barca and Madrid

Makin dalam menggali, makin buruk kelihatannya. Sejak ditolak Madrid, Eto'o telah menyabet 15 trofi, Cambiasso 15, Samuel 14, Sneijder enam. Robben merebut tiga gelar juara dalam dua musim setelah meninggalkan Madrid. Bersama Sneijder, Robben memegang peran utama di timnas Belanda dalam menembus final Piala Dunia 2010.

Madrid mencapai tahap mereka tidak lagi mampu mencetak "Pavones" maupun mempertahankan "Zidanes" ketika berhasil merekrutnya. Namun, di luar kontroversi tujuh laga duel El Clasico yang terjadi antara Guardiola dan Mourinho, yang menciptakan 21 gol, 52 kartu kuning, dan sembilan kartu merah, tidak banyak pujian disematkan kepada Mourinho yang berhasil mengakhiri tren buruk Madrid. "Zidanes" pada era ini menjadi sekuat seperti era "Galactico", pemain-pemain muda dimunculkan, dan yang paling manis dari segalanya bagi Madridistas adalah, kini hanya sedikit perbedaan kekuatan antara Barcelona dan Madrid.

No comments:

Post a Comment